Minggu, 25 September 2016

DIPLOMASI YANG MELECEHKAN DAN MENJADI BUMERANG POLITIK BAGI INDONESIA DALAM INTERNASIONALISASI ISU PAPUA


Oleh:  MARINUS  YOUNG
Dosen Hubungan Internasional Fisip Universitas Cenderawasih Papua

Foto: Doc

Dalam sesi debat sidang majelis umum PBB ke-71 tahun 2016, dugaan pelanggaran ham di papua yang dilakukan oleh pemerintah indonesia, menjadi sorotan politik penyampaian pendapat dari 6 (enam) perwakilan kepala negara. Kepala negara Solomon Island, Vanuatu, Tonga, Tuvalu, Nauru dan Kepulauan Marshall secara bergantian tampil ke podium sidang majelis umum untuk meminta perhatian dan campur tangan PBB dan masyarakat Internasional dalam mengakhiri kekerasan dan segala macam bentuk pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah Papua, Indonesia. Menguatnya isu Papua di PBB diluar dari prediksi pemerintah Indonesia, karena isu Papua dianggap telah dilokalisir dan dikendalikan dalam forum Melanesian Spearhead Groups (MSG) dan dalam Pacific Islands Forum (PIF). Diplomasi ekonomi dan politik pemerintah Indonesia ke pasifik terbukti belum cukup kuat mempengaruhi negara-negara di wilayah Rumpun Melanesia, Polinesia dan Mikronesia. Belum mampu meredam internasionalisasi isu Papua. Diplomasi ekonomi dan politik terbukti tidak bisa menghentikan diplomasi kemanusian dan pelanggaran HAM yang dilakukan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
Isu-isu kemanusian masih mendapat tempat utama dalam arena politik Internasional dan kondisi keselamatan hidup orang asli Papua masih sangat riskan dan terancam dengan hadirnya negara di Papua. Situasi kemanusian di Papua yang dalam ancaman senjata, bukanlah opini liar dan penuh dgn rekayasa, tetapi suatu realita sosial yang tidak bisa lagi ditutupi dan disembunyikan dari masyarakat internasional. Model diplomasi "right or wrong, Indonesian is my country" yang dikembangkan rezim orde baru dengan terus menerus membohongi dunia Internasional tentang kondisi dalam negeri Indonesia, tidak bisa lagi dijadikan pedoman baku diplomasi dewasa ini. Pemerintah sudah harus sadar dan mengoreksi diri sendiri bahwa selama ini kebijakan luar negeri dalam isu -isu kemanusiaan, HAM dan Demokrasi adalah suatu rumusan kebohongan yang disusun secara rasional dan sistematis.
Tidaklah berlebihan apabila mendengar jawaban diplomat muda indonesia, Nara Rakhmatia, terhadap pandangan politik pemimpin negara-negara di pasifik terhadap isu HAM Papua, adalah bahasa diplomatik yang bertujuan memenangkan opini publik di forum sidang majelis umum yang dikonsepkan dengan penuh kebohongan. Pemerintah Indonesia sedang mempraktekan kejujuran yang bohong di depan mata masyarakat Internasional. Pemerintah harus dengan jujur mengakui bahwa ada terjadi pelanggaran HAM di Papua dan pemerintahan yang baru di bawah pimpinan Presiden Jokowi memiliki komitmen yang kuat untuk menyelesaikan dan menuntaskan semua kasus pelanggaran ham di Papua berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku di Indonesia. Pemerintah Indonesia tidak mau didikte oleh negara manapun dalam penyelesain HAM Papua karena mekanisme hukum yang tertulis di Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah rumusan hukum yang diadopsi dari 9 (sembilan) Konvensi Internasional tentang Perlindungan Terhadap Hak Asasi Manusia yang 8 (delapan) diantaranya telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.
Ketidakjujuran dalam berdiplomasi tidak akan menyelesaikan persoalan dan menjamin adanya dukungan dan simpati masyarakat internasional terhadap kepentingan nasional Indonesia. Diplomasi kebohongan justru akan menjadi bumerang politik bagi Pemerintah Indonesia ke depan. Memang patut diapresiasi argumentasi yang disampaikan wakil dua sekertaris perwakilan tetap Indonesia untuk PBB di New York, untuk menjaga wibawah dan kehormatan negara Indonesia di mata forum Internasional, tetapi secara politik menempatkan seorang diplomat muda untuk meresponi pendapat dari kepala-kepala negara, adalah bentuk pelecehan dan penghinaan terhadap lembaga PBB itu sendiri dan juga penghinaan terhadap 6 (enam) kepala negara oleh indonesia.
Pertama, penghinaan terhadap PBB. sejak awal berintegrasi dgn indonesia, isu papua sudah memiliki dimensi internasional. Melalui perjanjian New York 1962 yang diprakarsai oleh sekertaris jenderal PBB dan presiden Amerika Serikat, Belanda akhirnya menyerahkan Papua secara administrasi ke Indonesia hingga pelaksanaan Act of Free Choice 1969 yang menghasilkan penyerahan kedaulatan penuh Papua ke tangan Presiden Soeharto. Keterlibatan langsung kepala-kepala negara dan sekjen PBB dalam isu Papua merupakan hal yang lazim terjadi dalam sidang PBB, tetapi ketika seorang diplomat muda yang bukan kepala negara Indonesia terlibat membicarakan isu Papua di Sidang Majelis Umum PBB merupakan hal yang tidak lazim dan tidak sesuai dengan mekanisme sidang PBB. Tindakan Indonesia ini akan dibaca masyarakat Internasional sebagai teguran keras sekaligus koreksi terhadap PBB yang secara "sembrono" memasukan isu pelanggaran HAM Papua sebagai agenda sesi debat sidang majelis umum PBB. Isu pelanggaran HAM Papua bagi Indonesia bukan isu penting yang harus dibicarakan di PBB dan Lembaga Internasional terhormat ini telah keliru menempatkan isu pelanggaran HAM Papua sebagai isu utama. Karena PBB hanya dimanfaatkan untuk ikut terlibat mencampuri kedaulatan Indonesia yang mana tindakan ini bertolak belakang dengan prinsip non intervensi yang ditetapkan sendiri oleh PBB. Akibatnya dimata Indonesia, PBB bukanlah lembaga yang Netral dan Independen.
Kedua, penghinaan terhadap 6 kepala negara. Dengan menempatkan seorang diplomat muda yang masih berusia 33 tahun dan belum memiliki banyak pengalaman dalam percaturan politik Internasional, Indonesia sedang menempatkan posisi pemimpin-pemimpin 6 negara pasifik ini, kualitas dan kapabilitas mereka sama dengan seorang wakil dua sekertaris perwakilan tetap Republik Indonesia di PBB. Seharusnya yang memiliki hak jawab adalah Presiden Jokowi, atau Wakil presiden Jusuf kalla yang hadir di PBB menggantikan presiden atau menteri luar Negeri Indonesia atau pejabat negara setingkat dibawahnya yakni duta besar Indonesia untuk PBB. Tetapi dengan diserahkan tugas ini ke tangan seorang diplomat muda, tentunya ini merupakan pelecehan politik bagi negara-negara pasifik dan strategi politik ini akan mempercepat dukungan dan simpati dunia Internasional yang semakin luas terhadap isu papua.
Ini bukan kemenangan diplomasi, tetapi kebodohan diplomasi yang akan di bayar dengar harga yang sangat mahal oleh Pemerintah. Narasi tulisan ini menjadi bukti bahwa pemerintah Indonesia memandang isu pelanggaran HAM Papua bukanlah isu yang penting yang tidak perlu dicari solusinya dengan segera. Selama Presiden Jokowi masih terus " blusukan " tiga kali setahun ke Papua, maka Papua masih tetap aman dan terkendali dalam tangan pemerintah. Semoga Pemerintahan Presiden Jokowi dan para pembantunya tidak terlambat dalam mengantisipasi Internasionalisasi Isu Papua dengan pola pikir yang tidak logis dan menyesatkan seperti diatas.
Editor: Ndialeck,Jr.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan pesan anda untuk Tunas Yalkom