Oleh: MARINUS YOUNG
Foto: Doc |
kepala negara. Kepala negara Solomon Island, Vanuatu, Tonga, Tuvalu, Nauru dan Kepulauan Marshall secara bergantian tampil
ke podium sidang majelis umum untuk meminta perhatian dan campur tangan PBB dan
masyarakat Internasional dalam mengakhiri kekerasan dan segala macam bentuk
pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah Papua, Indonesia. Menguatnya isu Papua
di PBB diluar dari prediksi pemerintah Indonesia, karena isu Papua dianggap
telah dilokalisir dan dikendalikan dalam forum Melanesian Spearhead Groups (MSG)
dan dalam Pacific Islands Forum (PIF). Diplomasi ekonomi dan politik pemerintah Indonesia ke pasifik terbukti belum cukup kuat mempengaruhi negara-negara di
wilayah Rumpun Melanesia, Polinesia dan Mikronesia. Belum mampu meredam
internasionalisasi isu Papua. Diplomasi ekonomi dan politik terbukti tidak bisa
menghentikan diplomasi kemanusian dan pelanggaran HAM yang dilakukan United Liberation
Movement for West Papua (ULMWP).
Isu-isu
kemanusian masih mendapat tempat utama dalam arena politik Internasional dan
kondisi keselamatan hidup orang asli Papua masih sangat riskan dan terancam
dengan hadirnya negara di Papua. Situasi kemanusian di Papua yang dalam ancaman
senjata, bukanlah opini liar dan penuh dgn rekayasa, tetapi suatu realita
sosial yang tidak bisa lagi ditutupi dan disembunyikan dari masyarakat internasional.
Model diplomasi "right or wrong, Indonesian is my country" yang
dikembangkan rezim orde baru dengan terus menerus membohongi dunia Internasional tentang kondisi dalam negeri Indonesia, tidak bisa lagi dijadikan
pedoman baku diplomasi dewasa ini. Pemerintah sudah harus sadar dan mengoreksi
diri sendiri bahwa selama ini kebijakan luar negeri dalam isu -isu kemanusiaan,
HAM dan Demokrasi adalah suatu rumusan kebohongan yang disusun secara rasional
dan sistematis.
Tidaklah
berlebihan apabila mendengar jawaban diplomat muda indonesia, Nara Rakhmatia,
terhadap pandangan politik pemimpin negara-negara di pasifik terhadap isu HAM
Papua, adalah bahasa diplomatik yang bertujuan memenangkan opini publik di
forum sidang majelis umum yang dikonsepkan dengan penuh kebohongan. Pemerintah Indonesia
sedang mempraktekan kejujuran yang bohong di depan mata masyarakat Internasional.
Pemerintah harus dengan jujur mengakui bahwa ada terjadi pelanggaran HAM di Papua
dan pemerintahan yang baru di bawah pimpinan Presiden Jokowi memiliki komitmen
yang kuat untuk menyelesaikan dan menuntaskan semua kasus pelanggaran ham di Papua
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku di Indonesia. Pemerintah Indonesia tidak
mau didikte oleh negara manapun dalam penyelesain HAM Papua karena mekanisme
hukum yang tertulis di Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia adalah rumusan hukum yang diadopsi dari 9 (sembilan) Konvensi
Internasional tentang Perlindungan Terhadap Hak Asasi Manusia yang 8 (delapan)
diantaranya telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.
Ketidakjujuran
dalam berdiplomasi tidak akan menyelesaikan persoalan dan menjamin adanya
dukungan dan simpati masyarakat internasional terhadap kepentingan nasional Indonesia.
Diplomasi kebohongan justru akan menjadi bumerang politik bagi Pemerintah
Indonesia ke depan. Memang patut diapresiasi argumentasi yang disampaikan wakil
dua sekertaris perwakilan tetap Indonesia untuk PBB di New York, untuk menjaga
wibawah dan kehormatan negara Indonesia di mata forum Internasional, tetapi
secara politik menempatkan seorang diplomat muda untuk meresponi pendapat dari
kepala-kepala negara, adalah bentuk pelecehan dan penghinaan terhadap lembaga
PBB itu sendiri dan juga penghinaan terhadap 6 (enam) kepala negara oleh
indonesia.
Pertama,
penghinaan terhadap PBB. sejak awal berintegrasi dgn indonesia, isu papua sudah
memiliki dimensi internasional. Melalui perjanjian New York 1962 yang
diprakarsai oleh sekertaris jenderal PBB dan presiden Amerika Serikat, Belanda
akhirnya menyerahkan Papua secara administrasi ke Indonesia hingga pelaksanaan
Act of Free Choice 1969 yang menghasilkan penyerahan kedaulatan penuh Papua ke
tangan Presiden Soeharto. Keterlibatan langsung kepala-kepala negara dan sekjen
PBB dalam isu Papua merupakan hal yang lazim terjadi dalam sidang PBB, tetapi
ketika seorang diplomat muda yang bukan kepala negara Indonesia terlibat
membicarakan isu Papua di Sidang Majelis Umum PBB merupakan hal yang tidak
lazim dan tidak sesuai dengan mekanisme sidang PBB. Tindakan Indonesia ini akan
dibaca masyarakat Internasional sebagai teguran keras sekaligus koreksi
terhadap PBB yang secara "sembrono" memasukan isu pelanggaran HAM
Papua sebagai agenda sesi debat sidang majelis umum PBB. Isu pelanggaran HAM
Papua bagi Indonesia bukan isu penting yang harus dibicarakan di PBB dan Lembaga
Internasional terhormat ini telah keliru menempatkan isu pelanggaran HAM Papua sebagai
isu utama. Karena PBB hanya dimanfaatkan untuk ikut terlibat mencampuri
kedaulatan Indonesia yang mana tindakan ini bertolak belakang dengan prinsip
non intervensi yang ditetapkan sendiri oleh PBB. Akibatnya dimata Indonesia,
PBB bukanlah lembaga yang Netral dan Independen.
Kedua,
penghinaan terhadap 6 kepala negara. Dengan menempatkan seorang diplomat muda
yang masih berusia 33 tahun dan belum memiliki banyak pengalaman dalam
percaturan politik Internasional, Indonesia sedang menempatkan posisi
pemimpin-pemimpin 6 negara pasifik ini, kualitas dan kapabilitas mereka sama
dengan seorang wakil dua sekertaris perwakilan tetap Republik Indonesia di PBB.
Seharusnya yang memiliki hak jawab adalah Presiden Jokowi, atau Wakil presiden Jusuf
kalla yang hadir di PBB menggantikan presiden atau menteri luar Negeri Indonesia
atau pejabat negara setingkat dibawahnya yakni duta besar Indonesia untuk PBB.
Tetapi dengan diserahkan tugas ini ke tangan seorang diplomat muda, tentunya
ini merupakan pelecehan politik bagi negara-negara pasifik dan strategi politik
ini akan mempercepat dukungan dan simpati dunia Internasional yang semakin luas
terhadap isu papua.
Ini
bukan kemenangan diplomasi, tetapi kebodohan diplomasi yang akan di bayar
dengar harga yang sangat mahal oleh Pemerintah. Narasi tulisan ini menjadi
bukti bahwa pemerintah Indonesia memandang isu pelanggaran HAM Papua bukanlah
isu yang penting yang tidak perlu dicari solusinya dengan segera. Selama Presiden
Jokowi masih terus " blusukan " tiga kali setahun ke Papua, maka Papua
masih tetap aman dan terkendali dalam tangan pemerintah. Semoga Pemerintahan Presiden
Jokowi dan para pembantunya tidak terlambat dalam mengantisipasi Internasionalisasi
Isu Papua dengan pola pikir yang tidak logis dan menyesatkan seperti diatas.
Editor: Ndialeck,Jr.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan pesan anda untuk Tunas Yalkom